Janin (Dimuat di Apajake.id edisi 27 Desember 2017)

Print Dulu, ketika aku masih tertidur di alam rahim, sebelum usiaku menginjak sembilan purnama, aku sempat bermimpi. Dalam mimpiku itu, mimpi yang kurasa adalah mimpi buruk, aku bunuh orangtuaku sendiri. Tapi kenyataannya, akulah yang telah dibunuh oleh mereka. Dan pada saat aku terbunuh, aku terbang bebas ke langit. Juga bersama janin-janin lainnya.

***

Jika kau sempat berkunjung ke kota ini–kota yang berada di puncak tertinggi pulau Jawa, kau akan melihat sebuah pemandangan indah tentang kota-kota lain yang berjajar di bawahnya. Ketika kau datang pada jam pagi hari, kau akan disambut oleh berbagai macam aroma daun pepohonan di sepanjang jalan. Kau tak perlu khawatir tentang budaya atau kebiasaan yang dimiliki kota ini. Jika kau paham tentang manusia, maka kau tak perlu belajar untuk memahami budaya di kota ini. Semua sama saja, karena kita semua adalah manusia.

Jika kau sempat duduk di sebuah bangku taman yang berada di pusat kota, kau akan menyaksikan pemandangan yang lain. Seperti taman-taman pada umumnya, kau akan melihat bunga-bunga bermekaran di setiap sudut taman, atau kolam ikan yang berada di tengah-tengah taman. Tapi di taman ini, kau tak akan pernah melihat pemuda-pemudi saling bertatap-tatapan, bercakap-cakap, atau saling menggenggam tangan satu sama lain. Tak usah heran, karena ketika kau mulai melangkah memasuki taman ini, secara langsung kau akan melihat slogan besar yang bertuliskan: “Dilarang Pacaran!”. Tentu pihak yang berwenang ikut andil dalam hal ini.

Aturan tersebut dibuat baru-baru ini, ketika Pak Bupati baru saja berganti kepala lain. Dan jelas, aturan tersebut bertujuan untuk mengurangi angka kehamilan di luar nikah. Kau mungkin saja sepakat, atau bisa saja kau tidak sepakat. Atau barangkali kau tak peduli dengan hal ini. Tapi kau berhak tahu, bahwa kota ini, adalah kota yang paling banyak melahirkan anak tanpa status pernikahan. Apakah ini adalah sebuah kebetulan? Atau sebuah rencana dari Tuhan?

Kita semua tahu, walaupun  dengan aturan-aturan yang dibuat sedemikian rupa untuk mengurangi angka kehamilan di luar nikah, tetap saja tak ada gunanya. Sebab kebiasaan akan mengalahkan aturan itu sendiri. Bahkan agama sekali pun. Entahlah, teori seperti ini kadang benar, kadang juga salah. Lalu kau akan berpendapat seperti apa? Atau kau ingin berbuat sesuatu?

Kita lanjutkan saja cerita ini. Sepakat?

Ketika menjelang senja, mungkin kau ingin berjalan-jalan ke arah puncak, di sebuah ketinggian yang mempunyai sudut pandang yang indah untuk melihat senja. Di situ, kau akan menyaksikan sepasang kekasih sedang duduk bersama pada rumput yang sedikit basah. Tapi kau tak perlu menghampiri mereka. Cukup berdiri saja sekitar lima meter di belakang mereka, dan bersembunyi di balik pohon. Maka secara tidak langsung kau akan mendengarkan mereka bercakap-cakap.

“Apakah janin ini akan kita gugurkan?” tanya perempuan itu kepada seseorang yang ada di sampingnya.

“Kamu ingin menjadi ibu secepat ini?”

“Tidak!”

“Ya, sudah. Berarti sudah pasti janin itu akan digugurkan.”

“Kamu teledor! Aku perempuan, dan aku yang harus menanggung semuanya.”

“Dalam hal ini, kita berdua salah!”

“Oh, kamu enak sekali berbicara. Jelas, laki-laki yang salah!”

“Sudahlah! Semua sudah terjadi. Kehamilan tak dapat dihindari!”

Mungkin kau akan mengerutkan dahi. Mungkin kau akan berpikir sejenak. Atau barangkali kau akan datang ke hadapan mereka, lalu kau mulai menasehati mereka. Berbicara tentang apa saja yang menurutmu baik. Tapi kau tahu, kau hanyalah bagian dari cerita ini. Maka kau hanya butuh diam.

Dan mereka akan terus berdebat tentang kehamilan, sampai senja datang. Ketika senja telah selesai, mereka sudah saling melepas satu sama lain, pulang ke rumah masing-masing. Kau tahu, perempuan itu menangis sepanjang jalan pulang. Dan laki-laki itu sibuk berpikir tentang bagaimana cara untuk menggugurkan janin yang dikandung kekasihnya.

Lalu esoknya, kau akan mendengar kabar bahwa semalam telah terjadi pembuangan bayi di sebuah sungai. Kabar itu tersebar di berbagai media: koran, televisi, media sosial, bahkan dari mulut-mulut manusia. Tapi kabar yang beredar itu bukanlah tentang sepasang kekasih yang baru saja diceritakan, melainkan tentang sepasang kekasih lain, tentang perempuan lain yang, “kebetulan” mengalami nasib serupa: hamil di luar nikah. Lagi-lagi soal “kebetulan”. Agaknya terlampau sulit untuk tidak menuliskan kata “kebetulan”. Walaupun kita semua tahu, tak ada yang “kebetulan”.

“Aku takut,” ucap perempuan itu.

“Lalu?”

“Entahlah.”

Dan begitulah Tuhan membolak-balikkan hati manusia. Di hari berikutnya, kejadian yang sama terulang kembali.

“Aku takut,” ucap perempuan yang lain.

“Lalu?”

“Entahlah.”

Mendengar kabar yang semakin hari semakin memanas, pihak pemerintah di kota ini semakin sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan resmi dengan orang-orang yang dirasa penting. Termasuk pihak polisi, budayawan, bahkan seorang kiai ikut andil dalam hal ini. Mereka saling berbagi pendapat tentang bagaimana menanggulangi pergaulan bebas yang semakin gencar di kalangan remaja saat ini.

“Yang jelas, permasalahan mengenai pergaulan bebas ini harus kita tangani secepat mungkin!” tegas Pak Bupati.

“Kita survei terlebih dahulu tempat-tempat yang sekiranya rawan akan hal ini,” ucap Kapolres itu.

“Ini adalah fenomena yang akan terus menjadi budaya bagi generasi setelah kita,” tukas salah seorang budayawan.

Alhamdulillah …,” seru Pak Kiai berkali-kali.

Kau baru saja sampai di kota ini, dan belum menikmati hari-hari liburmu. Tapi kau malah dibenturkan dengan masalah pergaulan bebas. Oh, kau akan berpikir kalau perjalananmu ini terasa sia-sia, bukan? Tapi tenang saja, kau tak perlu merasa kecewa. Semua pasti ada hikmahnya.

“Bagaimana ini? umur janin ini sudah hampir 3 bulan,” tanya perempuan itu di senja yang lain.

“Aku kebingungan.”

“Ah, kamu tidak becus!”

Maka mereka akan terus merasa khawatir. Mereka akan terus merasa takut. Hati mereka dipenuhi oleh berbagai macam rasa. Dan dalam hal ini, apa yang sedang Tuhan pikirkan? Lalu, di mana letak agama? Adakah sedikit dosa yang sedang mereka pikirkan? Mungkin ada. Mungkin itu masih mereka pikirkan. Sebab, manusia akan selalu membicarakan dosa ketika mereka sepenuhnya merasa bersalah. Ya. Mungkin kau sepakat akan hal ini.

“Apakah kita perlu berdoa kepada Tuhan?” tanya perempuan itu lagi.

“Percuma!”

“Kenapa kamu berpikir seperti itu?”

“Bukankah Tuhan akan selalu mengampuni mereka yang berbuat salah?” lanjut perempuan itu.

Laki-laki itu hanya diam. Ia tak mampu menjawab. Ia tak mampu lagi berpikir. Dan ia pergi begitu saja, meninggalkan kekasihnya.

“Kamu ingin pergi?”

“Oke, pergi saja! Dasar laki-laki!”

Tapi dalam hatinya, perempuan itu menangis.

Kemudian perempuan itu pulang dengan membawa air mata penyesalan. Di sudut rumah menjelang magrib, ia melamun dan berpikir untuk melaksanakan ibadah. Bagaimana menurutmu, apakah ia bersalah ketika ia sejenak merasa dirinya telah banyak melakukan kesalahan, dan ia mencoba untuk bertobat? Dan apa yang akan terjadi ketika ia telah bertobat? Waktu. Waktu.Waktu. Hanya waktu yang dapat menerjemahkan.

***

            Jika berbicara soal waktu, tak ada yang akan terlewati. Empat tahun sudah waktu memutar dirinya sendiri. Melewati berbagai macam peristiwa di muka bumi. Dan ketika kau sempat berkunjung kembali ke kota ini, dan ketika kau pergi kembali ke taman itu, kau akan menyaksikan perempuan itu lagi. Ia sedang menggandeng erat tangan anak gadis kecil. Kau hanya melihat perempuan itu, tak ada seorang laki-laki yang menemaninya. Kau akan melihat ia tampak begitu bahagia. Mungkin sejenak matamu akan berkaca-kaca ketika menyaksikan fragmen ini: ibu dan anak yang terlihat begitu dekat, mereka tertawa dengan nada yang tak sama. Tapi kau tak mungkin diam saja di tempatmu berdiri. Kau akan menghampiri mereka, lalu mencari celah untuk menayakan sesuatu yang logis.

“Eh … gadis kecil yang cantik, ngomong-ngomong sudah umur berapa?”

Ibu gadis kecil itu menoleh ke arahmu. Dan ia tersenyum kepadamu.

“Sudah hampir empat tahun, Mbak.”

Ia memanggilmu “Mbak”. Ternyata kau adalah seorang perempuan.

“Siapa namanya?”

“Hayo itu ditanya Tante, siapa namanya.”

Gadis kecil itu tampak malu-malu dan mengibas-ibaskan rambutnya yang tebal.

“Namanya Sabrina.”

Maka kau akan duduk pada sebuah bangku taman, dan mulai bercakap-cakap dengan ibu itu. Mungkin sekadar berbagi kenangan di malam yang tampak sedikit basah. Tapi kau tak berani menanyakan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Kau hanya berputar-putar pada persoalan yang umum saja. Sebab kau mengerti, bahwa kadang kita tak perlu jawaban untuk sebuah kenangan yang kelam. Dan gadis kecil itu sibuk melihat kalian berdua. Tiba-tiba ia menarik-narik ujung baju ibunya.

“Bunda … Bundaaa … itu di langit kok banyak cahaya kecil-kecil? Itu apa namanya?”

“Itu bintang, Sayang.” Perempuan itu tak melihat ke arah langit.

“Bunda kan sudah sering bercerita tentang bintang-bintang yang hanya muncul di malam hari.”

“Itu bukan bintang, Bunda. Ah, Bundaa … coba lihat lagi.”

Kau hanya tersenyum melihat keakraban mereka berdua. Mungkin dalam beberapa detik ketika kau pandang mereka, ada sesuatu yang terlintas di dalam pikiranmu: kau ingin menjadi seorang ibu. Kemudian perempuan itu meloloskan keinginan anak gadisnya. Dengan tergesa-gesa ia melihat ke arah langit. Kau juga mengikuti gerak kepala dan matanya. Sontak kalian berdua tiba-tiba terperangah. Kalian terkejut ketika melihat janin-janin yang terbang di bawah sinar rembulan, seperti kunang-kunang.

Aku ingin dilahirkan, dan tumbuh sebagai manusia. Tapi pada akhirnya, aku hanyalah sepotong jiwa yang terbang bebas ke langit. Sepotong jiwa yang akan selalu mencuri sinar rembulan, untuk menghangatkan tubuhku yang telanjang. (*)

Jember, 28 Agustus 2017

6 respons untuk ‘Janin (Dimuat di Apajake.id edisi 27 Desember 2017)

Add yours

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑